MAJELIS ARRAUSYAN
Minggu, 15 Juni 2014
Sabtu, 14 Juni 2014
ALHABIB AHMAD BIN ALWI BIN BIN ALI BIN HUD ALHABSYI
Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu
cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang
lainnya.
Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan
makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai
beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya,
yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh
dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah
itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi
utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini
dilahirkan.
Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah
Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam
didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.
“Gaya mendidiknya itu gaya wulaiti,”
kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya saat sang ayah masih ada
di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi seseorang yang
lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu sangat tegas
dalam mendidik keluarganya.
“Ayah saya tergolong galak. Tegas
sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami harus
bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam
empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib
Ahmad. Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya
dengan wajah sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan
ayahnya yang seperti itulah yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi
seperti sekarang.
“Walidi (ayah saya) galak. Ana nggak boleh
banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini, ada itu, tetap nggak boleh
keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau dimarahin. Kalau walidi
habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi duduk-duduk santai, ana
deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah, berkahnya
sekarang ini amat terasa,” tuturnya.
Tekad Besar
Selain
menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh
orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari
rumahnya. “Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari
dasar-dasar pelajaran agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di
samping kalau di rumah didikan ayah saya terus saya dapatkan.”
Selepas
SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang
diasuh oleh Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu,
ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin
Hasan Vad’aq, Bekasi, yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang
diasuh Habib Hamid An-Nagib B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa
ustadz. Selain kepada pembina dan pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga
banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf (yang kini telah mendirikan
pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul Habib), Ustadz Muhammad
Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat), Ustadz Zaki
Mulachela, dan asatidz lainnya.
Di pesantren ini ia benar-benar
menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai cita-citanya:
belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia dapat
pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.
“Uang nggak punya, persiapan
nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu pokoknya saya
berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program jadi
berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin
beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke
sana. Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua
persiapan yang saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat
apa nggak nantinya,” kisah Habib Ahmad.
Sampai akhirnya, suatu
ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya. Hingga,
dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap
seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya
di negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh
hari ia persiapkan.
Harapan besarnya akhirnya kesampaian. Ia
berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil, cita-citanya memang jadi orang
yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar kelas 1 SD, kalau ada yang
tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan tangkas Ahmad
Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”
Merasakan Kenikmatan
“Selama
di Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di
malam-malam Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat
itu, kita merasakan nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah
terus-menerus,” kisah Habib Ahmad seputar masa-masa belajarnya di
Hadhramaut.
Selain kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri
itu, Habib Ahmad juga merasakan nikmat dalam belajar. Di samping
belajar, ia juga dididik untuk mengajar. Bahkan di samping tugas
mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada sejumlah santri.
Setelah
dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan
kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah
ke daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.
“Kami
disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke
daerah-daerah Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di
sana. Karenanya, kami pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.
Saat
masuk ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin.
Ada makam shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin.
Wallah, indah sekali,” kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj
dakwah sampai 40 hari.
Selama di Hadhramaut, ia tidak hanya
belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi, sebagaimana para santri
lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di Hadhramaut, ia
juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan
Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad
Syihab, Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi
Alaydrus (atau yang dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan
guru Hadhramaut lainnya.
Di antara kenangan manis lain yang ia
rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah keinginannya sejak dulu untuk
bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Sekali waktu, ia
berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah. Kesempatan itu pun
sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi menjumpai tokoh
besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang beredar.
Saat
ia mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu
sedang terbuka. Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun
terbuka. Ia terus masuk ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan
dalam pun terbuka. Lalu ia menyusuri anak tangga menuju lantas atas
untuk dapat menuju kamar Habib Abdul Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah,
pintu kamar pun sedang terbuka.
Itu menjadi kenangan yang tak
terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah udzur dan
hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan
secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan
keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar
baginya.
Sewaktu kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai,
bersama empat kawan lainnya ia mendalami program kurikulum takhasus
(pendalaman).
Singkat cerita, setelah selama beberapa tahun ia
menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004 Habib Ahmad pun pulang ke kampung
halaman.
Sebelum kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya,
yaitu memakaikan imamah di kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan
di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat
manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga
langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa
berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.
Tak Merasa Berat
Setelah
pulang, pertama kali ia mengajar di mushalla tempat ayahnya mengajar
sebelumnya. Jadi, apa yang dilakukannya itu tak lain untuk meneruskan
dakwah orangtua.
Waktu demi waktu ia pun terus menjalani khuruj
dakwah, sebagaimana yang dipesankan gurunya. Di antaranya ke Pulau
Seribu, yang telah menjadi rutinitas baginya, bahkan terkadang sampai ke
negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura, di samping
undangan-undangan dakwah yang dilayangkan kepadanya.
Saat ini ia
membina majelis secara berkala. Ada yang harian, seperti yang masih
terus berjalan sejak awal kepulangannya dari Hadhramaut, yaitu di
mushalla dekat rumahnya. Ada yang mingguan, seperti malam Jum’at, yang
digunakannya selain untuk mengaji kitab sekaligus juga untuk mengajak
jama’ahnya membaca kitab Maulid bersama-sama, serta pengajian umum Ahad
pagi, bagi mereka yang tidak bisa hadir di malam hari. Ada juga yang
bersifat bulanan.
Habib Ahmad juga aktif mengajar di beberapa
masjid, majelis ta’lim, kantor, perusahaan. Kini dakwahnya melebar
lintas kalangan, mulai dari kalangan awam, santri, pelajar, mahasiswa,
pengusaha, hingga sampai politisi. Baginya, mereka semua adalah lahan
amal baginya untuk berdakwah.
Ar-Rausyan adalah nama yang
dipilihnya untuk majelis yang ia asuh. Ar-Rausyan adalah nama salah satu
cabang keluarga pada qabilah Al-Habsyi, sebagai nisbah daerah asal
mereka di Hadhramaut. “Supaya orang mudah mengingatnya. Itu saja.”
Mengenai terjalnya medan dakwah yang harus ia jalani, kepada alKisah
ia mengatakan, “Alhamdulillah, dakwah generasi kita sekarang ini lebih
enak dari generasi salaf kita. Generasi salaf itu dakwahnya berat.
Sangat jauh dengan kondisi sekarang. Jadi kalau kita bilang kita saat
ini dalam berdakwah itu pahit atau berat, kita malu sama salaf kita.
Kita
kini, kalau masuk sebuah daerah, kita disambut. Kalau salaf kita, tak
sedikit yang disambit sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Memang di
suatu daerah ada yang senang dan ada yang nggak senang sama dakwah kita,
tapi tetap saja tak sebanding dengan jalan dakwah yang telah dirintis
oleh para salaf. Jujur saja, kita ini belum seberapa.
Para salaf
itulah yang telah membuka lahan. Sementara kita yang sekarang tinggal
enak melenggang di atas lahan yang telah dibuka oleh mereka. Kalau
masalah pahit, misalnya karena kita ada jalan kakinya, ada naik
geteknya, itu kan hanya sesekali. Tetap saja kita lebih sering enaknya,
naik mobil-lah, naik pesawat-lah.
Karenanya, sewaktu sudah enak,
ketika kita masuk ke suatu daerah, kita jangan lupa untuk tetap menjaga
adab. Misalnya, kalau masuk suatu daerah, kita harus sowan kepada
orang-orang tua di sana. Kalau ada makam shalihin, kita ziarahi. Ada
yang sakit, kita tengokin. Ada sekumpulan keluarga Alawiyyin, kita ikut
kumpuli, kemudian kita saling bersilaturahim bersama mereka. Mereka akan
senang luar biasa. Ini bagian dari akhlaq seorang dai yang semoga tak
terlewat oleh rekan-rekan dai lainnya.”
Bagi Habib Ahmad, semua kegiatan dakwah yang dilakukannya semata-mata karena ia ingin membahagiakan hati Baginda Rasulullah SAW.
Saat ditanya apa harapan ke depannya, ia menjawab sederhana, “Ingin menjadi orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.”
Benar
yang dikatakannya, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di
antara umat manusia adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”
dikutip dari :
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1044-habib-ahmad-bin-alwi-al-habsyi-kita-ini-belum-seberapa
dikutip dari :
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1044-habib-ahmad-bin-alwi-al-habsyi-kita-ini-belum-seberapa
TENTANG MAJELIS ARRAUSYAN
Majelis
Ta'lim Arrausyan didirikan oleh alhabib Alwi bin Ali bin Hud AlHabsyi
pada tahun 90-an sebagai salah satu sarana untuk menuntut ilmu bagi
masyarakat kramat panjang khususnya dan umumnya bagi seluruh umat muslim
di wilayah mana saja. setelah alhabib Alwi wafat pada tahun
2004, kemudian tonggak perjuangan da'wah dilanjutkan oleh putra beliau bernama "AllHabib Ahmad bin Ali bn Ali Bin hud Alhabsyi" berbagai sistem di lakukan untuk memperjuangkan islam yang kaaffah, dengan di dukung para donatur baik berupa tenaga, harta, ilmu, dll..maka terwujudlah sistem majelis secara baik
Langganan:
Postingan (Atom)